Oleh: Muhaimin Iqbal 
Direktur Gerai Dinar

TAHUN 1995 saya bersama 3 orang eksekutif muda lainnya membentuk satu team mengikuti suatu “Business Game Competition” yang diselenggarakan oleh IBM. Team tersebut ternyata tangguh karena mampu memenangi kompetisi di Indonesia, dan atas kemenangan ini IBM mensponsorinya untuk mewakili delegasi Indonesia dalam kompetisi yang sama tingkat Asia Pacific di Sydney. Team kami-pun menang lagi dan menjadi juara pertama tingkat Asia Pacific. Dengan rasa percaya diri (PD) yang luar biasa karena prestasi “Business Game Competition” tingkat Asia Pacific, sebagian dari anggota team ini ada yang langsung melompat meninggalkan perusahaannya dan memulai business sendiri. Sebagian yang lain menyusul beberapa tahun kemudian. Sukseskah ?, ternyata tidak dengan mudah! Mengapa?

Business game adalah tentang pengetahuan dan simulasi usaha yang meniru dunia penerbangan dalam melatih pilot-pilotnya. Sebelum pilot-pilot diijinkan menerbangkan jenis pesawat yang baru, mereka harus mencobanya dahulu di simulator – untuk mengenalkannya dengan segala macam fungsi peralatan dan pengaruh atas tindakan pilot pada perjalanan pesawat. Simulator berfungsi mengasah ketrampilan pilot dan keakuratan keputusannya, sebelum dia benar-benar menerbangkan pesawat yang sesungguhnya.

Karena efektivitas penggunaan simulator untuk para pilot tersebut, maka kemudian dunia business sejak beberapa dekade lalu juga meniru menggunakan simulator untuk melatih para pengelolanya. Maraknya pendekatan business simulation ini di decade 90-an-lah, yang kemudian membuat perusahaan sekelas IBM-pun mensponsori kompetisi di bidang ini sampai setingkat Asia Pacific.

Tetapi permasalahan di dunia usaha ternyata jauh lebih komplek ketimbang menerbangkan pesawat, variable-nya terlalu banyak sehingga hanya sebagian kecil saja business environment factors yang bisa dimasukkan dalam variable simulator. Walhasil, sekelas juara internasional di business simulation-pun tidak serta merta bisa menjadi juara di dunia bisnis yang nyata.

Berbagai materi case study dan simulasi yang banyak dipakai di sekolah-sekolah business baru mengantar para lulusannya untuk ‘tahu’, sedangkan ‘tahu’ sangat berbeda dengan ‘melaksanakan’ - nya. Itu pulalah sebabnya mengapa hampir setiap institusi pemerintahan negeri ini memiliki PUSDIKLAT (Pusat Pendidikan dan Latihan) dengan berbagai namanya sendiri-sendiri, tetapi kok negeri ini tetap juga belum unggul ?, kita masih di urutan ke 121 dari sisi kemudahan usaha misalnya ?, masih di urutan 118 dalam hal kemakmuran bila diukur dari GDP?

Inilah dampak dari berbagai sekolah business dan berbagai DIKLAT yang hanya mengantar lulusan atau pesertanya untuk ‘tahu’ tetapi tidak bisa membuat mereka ‘melaksanakan’ apa yang mereka tahu. Jurang pemisah antara ‘tahu’ dan ‘melaksanakan’ ini pernah ditulis secara detil dalam satu buku yang berjudul "The Knowing-Doing Gap" (Jeffrey Pfeffer & Robert I. Sutton, Harvard Business School Press , 2000).

Untuk bisa kontribusi maksimal terhadap perusahaan atau institusinya, seorang pegawai tidak cukup hanya dilatih untuk ‘tahu’ , tetapi dia juga harus dilatih untuk bisa ‘melaksanakan’ apa yang dia tahu. DIKLAT-DIKLAT akan efektif bila mereka tidak hanya membuat peserta-nya ‘tahu’ , tetapi juga bisa membuat pesertanya ‘melaksanakan’ apa yang mereka tahu.

Para (calon) entrepreneur-pun demikian. Tidak kurang banyaknya buku-buku dan pelatihan entrepreneurship di negeri ini, tetapi mayoritasnya hanya mengantar orang untuk ‘tahu’ dan belum bisa mengantarkannya untuk ‘melaksanakan’. Bahkan ironinya adalah institusi yang diserahi untuk membina para (calon) entrepreneur tersebut kebanyakannya juga hanya sekedar ‘tahu’ tetapi sama sekali belum pernah ‘melaksanakan’-nya.

Dalam sebuah bedah buku entrepreneurship saya “Kambing Putih Bukan Kambing Hitam” bersama para (calon) entrepreneur muda, pihak penyelenggara berhasil menghadirkan pejabat eselon 2 (direktur) di institusi terkait. Tetapi karena si pejabat yang usianya sudah menjelang pensiun ini seumur-umur belum pernah ber-bisnis, maka sambutannya begitu negative tentang bisnis – jadi dia bukannya meng-encourage peserta malah men-discourage-nya. Pejabat yang bergelar Doktor ini tentu tahu segala aspek usaha karena pekerjaan dan pendidikannya, tetapi masalahnya dia sendiri belum pernah ‘melaksanakan’-nya.

Lantas apa yang diperlukan untuk sukses itu sebenarnya? Salah satu caranya ya itu tadi, melalui ‘melaksanakan’ yang kita ‘tahu’ atau dalam bahasa buku tersebut diatas adalah mengeliminir atau setidaknya meminimisasi The Knowing-Doing Gap. Sedangkan The Knowing–Doing Gap ini otomatis tidak ada bila kita ‘tahu’ karena ‘melaksanakan’ –nya atau yang dikenal dengan learning by doing.

Adapun team kami yang tidak langsung sukses menjadi entrepreneur setelah menjadi juara Asia Pacific Business Game Competition yang saya perkenalkan di awal tulisan ini, sekian tahun kemudian ternyata mereka akhirnya sukses juga dibidang-nya masing-masing. Sukses mereka-pun bukan setelah mereka ‘tahu’ , tetapi setelah mereka sekian tahun ‘melaksanakan’-nya !.

Jadi bila Anda bener-bener ingin sukses dibidang Anda, salah satu cara sederhananya adalah mulai dengan ‘melaksanakan’ apa yang Anda tahu. InsyaAllah. [
HIDAYATULLAH]